Senin, 27 April 2009

9 Maret 2007

Andaikan dalam satu waktu kita tak hanya menjadi diri kita sendiri. Kita bisa menjadi lebih dari hanya seorang. Andaikan ketika sedang jatuh cinta, kita bisa merasakan diri kita menjadi ibu, menjadi ayah. Bagaimana kita merasa bahwa apa yang kita rasakan saat itu adalah hal terpenting dalam hidup, yang bahkan jika saja bisa seluruh dunia mengerti apa yang kita mau dengan cinta itu. Tapi bagaimana dengan ibu, ayah? Apa yang mereka pikirkan ketika tau kita jatuh cinta? Sepenting apakah cinta yang kita rasakan itu dimata mereka? Patutkah hal itu dipikirkan, dibicarakan, diangkat sebagai masalah besar dalam sejarah hidup kita? Bagaimana jika ibu, ayah tau kita menangis karena terlalu rindu dengan orang yang begitu dicintai? Atau patah hati mendapati cinta kita tak terbalas? Pentingkah itu? Masalahkan itu? Bagaimana kalau dibandingkan dengan perang sampit? (bukankah sisi kehidupan itu ada porsinya sendiri-sendiri, jangan harap masalah cinta diterima jika dibandingkan dengan peperangan. Tapi ada buku yang menceritakan kisah cinta dalam peperangan kan? Alagh, udah gag nyambung).
Saat kita jatuh cinta, kita adalah ibu atau ayah, mungkin yang akan muncul dalam pikiran adalah beribu kekalutan, berjuta kekhawatiran, akan apa yang akan terjadi dengan putra-putri tersayang yang mulai terjangkit cinta. Bagaimana cara menyikapi agar akhirnya tidak kecewa? Bagaimana memberi pengertian akan betapa cinta itu tak perlu dibesar-besarkan? Bagaimana cinta itu tidak akan mengalahkan cinta yang seharusnya diberikan kepada mereka sebagai ayah, ibu, sebagai belahan jiwa yang sesungguhnya. Atau..... ayah, ibu takkan sempat memikirkannya, karna hal itu ada dalam daftar kesekian masalah yang antri dalam pikiran ibu dan ayah. Masalah kita jatuh cinta itu dikalahkan oleh bagaimana cara untuk terus menghidupi kita? Bagaimana kita bisa terus sekolah? Bagaimana membayar cicilan rumah atau motor? Bagaimana kita bisa punya masa depan cerah? (ngomong-ngomong soal masa depan cerah, karna rangkaian kata itu terlalu sering dipakai, sehingga terlalu biasa cara membacanya, padahal jika dicerna, dibayangkan, dipikirkan maksudnya, memesona juga lho! Nah khan keluar jalur lagi!)
Memang tergambar jelas dari sekian banyak baris-baris diatas, ini adalah apa yang akan terjadi dengan keluarga yang menderita himpitan ekonomi.
Karna bosan merasa bersalah atas kesalahan-kesalahan, setelah kesekian kali kesalahan itu dilakukan akhirnya akan berujung pada titik dimana kita tidak akan lagi merasa bersalah atas kesalahan yang sama. Karna semakin banyak pembicaraan-pembicaraan dan bahasan yang menyangkut kesulitan ekonomi, ketika diangkat lagi untuk kesekian kali, rasanya jadi seperti dua liter es yang diberi sesendok teh gula, atau malah segelas es teh tanpa teh dan gula (jadi es tawar dong?). lalu apakah kita yang terlahir dalam keadaan ekonomi yang sulit tak perlu jatuh cinta? Tak seharusnya menyentuh cinta? Dilarang mengenal cinta? Karna cinta sudah tak kebagian tempat untuk dipikirkan, karna cinta akhirnya akan ditolak karna salah tempat daftar ulang, karna cinta belum memikirkan harus bagaimana jika hinggap dalam kehidupan yang mengalami perekonomian kusut. Karna cinta tak sadar kalau ia nyasar.
Cinta berkali-kali tersesat, dan cinta tak sekali dua kali menyesatkan.
Dua hari yang lalu ada yang mati gantung diri karna patah hati. Kemarin ada yang sekarat minum racun tikus setelah dibakar cemburu.
Andaikan dalam satu waktu kita tak hanya menjadi diri kita sendiri. Kita bisa menjadi lebih dari hanya seorang. Kumpulan-kumpulan bunuh diri karna cinta membawa hikmahkan untuk yang sedia memerhatikannya? Makin sedikit orang yang hidup, yang mati itu memberi kesempatan pada yang masih hidup untuk menjadi lebih baik.
Andaikan dalam satu waktu kita tak hanya menjadi diri kita sendiri. Cinta tak hanya sebagai cinta. Cinta jadi cahaya, cinta jadi lentera, cinta jadi pahlawan, cinta jadi pembunuh, cinta jadi semangat, cinta jadi bencana. (rasanya lebih tepat jika kata “jadi” diganti dengan “dijadikan”!!)

0 comments:

Posting Komentar